Perahu phinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang
berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan, yang
pembuatannya umumnya dilakukan oleh orang-orang Bulukumba di tepi laut
sebuah desa di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba.
Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar,
yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang. Perahu
phinisi umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Tujuh
buah layar di perahu phinisi konon melambangkan bahwa nenek moyang
bangsa Indonesia berani dan mampu mengarungi tujuh samudra besar di
dunia.
Meskipun zaman sudah modern bahkan kini kita sudah berada di era
milenium, pembuatan dan peluncuran perahu phinisi hingga kini masih
diwarnai acara ritual adat.
Peluncuran perahu phinisi jumbo berukuran panjang 50 meter, lebar 10
meter, kedalaman 5 meter, serta tonase sekitar 800 - 900 ton, di Pantai
Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, dilakukan
dengan melangsungkan ritual adat pada Selasa malam, 8 November 2011,
disaksikan sejumlah pejabat dan masyarakat Bulukumba.
Haji Baso Muslim yang memimpin pembuatan perahu tersebut menjelaskan,
perahu phinisi yang dibuat atas pesanan dari Polandia dengan harga
pemesanan sekitar Rp 4 miliar itu, kondisinya belum sempurna seratus
persen.
“Belum sempurna, kira-kira baru 75 persen. Selanjutnya akan dikirim ke
Semarang untuk dilengkapi dengan radar, interior, perlengkapan navigasi,
serta kelengkapan lainnya,” jelas Baso Muslim.
Ritual Pembuatan
Biasanya, para pengrajin harus menghitung hari baik untuk memulai
pencarian kayu sebagai bahan baku pembuatan perahu phinisi. Hari baik
itu biasanya jatuh pada hari kelima dan hari ketujuh pada bulan yang
berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah di
tangan, sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu
memperoleh rezeki. Setelah mendapat hari baik, kepala tukang yang
disebut “punggawa” kemudian memulai memimpin pencarian kayu.
Pada saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat
dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas
bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian
belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimanterai, bagian yang
akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan
gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya
untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga
kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual
tertentu.
Acara peluncuran perahu phinisi berukuran jumbo di Pantai Panrang Luhu,
Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, pada Selasa malam, 8
November 2011, seperti biasanya, diawali dengan prosesi ritual adat.
Sebagaimana biasa pula, ritual adat dimulai dengan upacara appasili atau
tolak bala. Seperti dilaporkan Ubayd dalam situs web Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Bulukumba (http://bulukumbatourism.com/), untuk
kelengkapan upacara appasili sebelumnya telah disiapkan seikat dedaunan
yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri,
panno-panno yang diikat bersama pimping. Selain itu, juga disiapkan
kue-kue tradisional seperti gogoso’, onde-onde, songkolo’, cucuru’, dan
lain-lain.
Upacara dimulai tepat pada pukul 21.00 wita. Pembuat kapal dan sanro
(dukun), serta tamu khusus dan tokoh masyarakat duduk berhadap-hadapan
di atas geladak kapal mengelilingi kelengkapan upacara yang akan dipakai
dalam upacara appasili.
Tak lama kemudian, terlihat mulut sanro berkomat-kamit membacakan
mantera-mantera songkabala atau tolak bala. Di depan sang sanro terdapat
sebuah wajan yang berisi air (dari mata air) dan seikat dedaunan untuk
membacakan mantera dengan khidmat dan khusuk. Air tersebut kemudian
dimantera-manterai sambil diaduk-aduk dengan menggunakan seikat dedaunan
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah pembacaan mantera selesai,
tersebut dipercikkan ke sekeliling perahu dengan cara dikibas-kibaskan
dengan ikatan dedaunan tadi. Setelah upacara selesai, kemudian para tamu
dijamu dengan penganan tradisional.
Ritual Ammossi
Puncak acara ritual adalah ammossi, yakni penetapan dan pemberian pusat
pada pertengahan lunas perahu yang selanjutnya akan dilakukan penarikan
perahu ke laut. Pemberian pusat ini berdasar pada kepercayaan bahwa
perahu adalah “anak” punggawa / panrita lopi (pembuat perahu). Berdasar
pada kepercayaan itu, maka upacara ammossi merupakan merupakan
simbolisasi pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir.
Sebelum prosesi ammossi dilakukan, seluruh kelengkapan upacara disiapkan
di sekitar pertengahan lunas perahu yang merupakan tempat upacara.
“Punggawa” atau pembuat perahu berjongkok di sebelah pertengahan lunas
perahu berhadapan dengan sanro. Tak lama kemudian mulut sanro
berkomat-kamit membacakan mantera sambil membakar kemenyan. Selesai
membaca mantera, sang sanro membuat lubang di tengah kalabiseang,
selanjutnya kalabiseang dibor sampai tembus ke sebelah kanan lunas
perahu.
Setelah prosesi ammossi selesai, dimulailah ritual penarikan perahu ke
tengah laut. Prosesi ini dahulunya memanfaatkan tenaga manusia yang
sangat banyak untuk menarik perahu ke laut, namun karena tonase perahu
sangat berat, prosesi ini sudah menggunakan peralatan yang lebih
“modern”, yaitu katrol.
Pada prosesi peluncuran malam itu, penarikan perahu phinisi menggunakan
katrol dan rantai sebagai simbolisasi penarikan perahu. Perahu yang
ditarik sudah dianggap masuk ke laut jika badan perahu telah menyentuh
air laut.
Sejarah Phinisi
Perahu Phinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang
lalu. Perahu phinisi diperkirakan sudah ada sebelum tahun 1500-an.
Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, perahu phinisi (ketika itu
belum diberi nama phinisi) pertama sekali dibuat oleh Sawerigading,
Putera Mahkota Kerajaan Luwu, pada abad ke-14, untuk berlayar menuju
Negeri Tiongkok. Sawerigading menuju Tiongkok untuk meminang Putri
Tiongkok yang bernama We Cudai.
Sawerigading berhasil sampai di Negeri Tiongkok dan juga berhasil
memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di Negeri
Tiongkok, Sawerigading kembali ke kampung halamannya dengan menggunakan
perahu phinisinya ke Luwu.
Menjelang masuk perairan Luwu, perahu phinisi diterjang gelombang besar
dan perahu tersebut terbelah tiga yang terdampar di Desa Ara, Desa Tanah
Beru, dan Desa Lemo-lemo. Masyarakat pada ketiga desa tersebut kemudian
merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan
Phinisi.
Dua Jenis
Ada dua jenis perahu phinisi, yaitu Lamba atau Lambo dan Palari. Phinisi
jenis lamba atau lambo adalah perahu phinisi modern yang masih bertahan
sampai saat ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (PLM),
sedangkan perahu phinisi jenis palari adalah bentuk awal perahu phinisi
dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba.
Terancam Punah
Para pengrajin perahu Phinisi di Kabupaten Bulukumba telah beberapa kali
memasarkan perahu phinisi ke luar negeri. Negara yang menjadi pasar
mereka antara lain Singapura, Papua Nugini, Polandia, Australia,
Perancis, Jerman, dan sejumlah negara Eropa lainnya.
Meskipun namanya sudah terkenal ke seantero dunia, perahu phinisi harus
menghadapi kenyataan bahwa “mereka” kini terancam punah. Kendala utama
yang dihadapi para pengrajin perahu phinisi di Bulukumba saat ini adalah
masalah kayu atau bahan baku pembuatan perahu phinisi.
Bahan baku kayu selama ini didatangkan dari Kalimantan. Kebijakan
pemerintah yang membatasi pengadaan kayu dari Kalimantan membuat banyak
pengrajin perahu yang pindah ke Kalimantan, Papua, dan Kendari, Sulawesi
Tenggara.
“Kalau mereka pindah, jelas yang dirugikan adalah Bulukumba sendiri
karena kehilangan orang-orang potensial,” kata Kadisbudpar Bulukumba,
Andi Nasaruddin Gau, kepada wartawan di Bulukumba, seperti diberitakan
harian Tribun Timur, Makassar, Senin, 7 November 2011.
Nasaruddin berharap Pemprov Sulsel turun tangan mencari solusi agar pengrajin Phinisi di Bulukumba tidak punah.