Ribuan kapal kayu yang bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta,
ataupun Kalimas, Surabaya, konon merupakan warisan keahlian Sawerigading
membuat kapal.
Syahdan, kapal yang ditinggalkan Sawerigading,
tokoh sentral mitologi Sulawesi Selatan, pecah digulung laut. Lambung
kapal terdampar di Desa Ara. Haluan dan buritannya terdampar di Desa
Lemo-lemo. Lunas, kemudi, dan layarnya terdampar di Desa Bira. Tiga desa
di Semenanjung Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan, itu kemudian tersohor sebagai pembuat pinisi.
”Orang
Bira mendapat pusaka layar dan kemudi sehingga menjadi pelaut hebat.
Sepintar-pintarnya orang membuat lambung, tidak akan lebih bagus
pekerjaannya daripada lambung buatan orang Ara. Kami orang Lemo-lemo
membuat haluan dan buritan meski sekarang kami juga menjadi pelaut,”
kata Haji Abdullah (49), pemilik galangan kapal.
Saat itu, 15
Januari, ia menuturkan kembali mitologi itu di galangannya yang berada
di Pantai Tanah Beru, pesisir barat Semenanjung Bira, sekitar 23
kilometer arah tenggara dari ibu kota Kabupaten Bulukumba.
Mitologi
itu menuntun jalan hidup orang Ara, Lemo-lemo, dan Bira. Seorang Ara
seperti Yusman (17) telah meninggalkan sekolahnya, dan kini belajar
menjadi punggawa atau pembuat pinisi. Ia magang mengikuti pamannya, Baso
(35), kepala punggawa di galangan Abdullah.
”Saya tinggalkan
sekolah sejak kelas IV SD,” tutur Yusman sambil menaruh potongan kayu
kandole di pelataran galangan, di antara hamparan serbuk dan serpihan
kayu di belakang buritan pinisi garapan Abdullah.
Parangnya
membelah kayu, membentuknya menjadi pasak-pasak berdiameter 3
sentimeter. Pasak-pasak Yusman akan merangkai papan kayu membentuk
lambung kapal pinisi sepanjang 37,5 meter.
Yusman bekerja dalam
diam, mengikuti irama suara ombak yang bersahutan dengan dengungan ketam
listrik, mesin ampelas, dan dentam pahat beradu palu. Baso tersenyum
memandangi Yusman.
Melanjutkan tradisi Ketekunan
Yusman membuat pasak demi pasak itulah yang akan melanjutkan tradisi
orang Semenanjung Bira sebagai pembuat pinisi. Di tangan mereka kapal
kayu dengan dua tiang berikut tujuh layar itu bukan sekadar teks sejarah
meski legenda pinisi memiliki catatan panjang.
Selama ratusan
tahun pinisi menjadi alat perlawanan saudagar pribumi dalam menghadapi
monopoli perdagangan Serikat Dagang Hindia Timur Belanda (VOC). Bentuk
asli pinisi tipe padewakang (disebut juga paduakang) yang ramping
menjadikannya kapal yang gesit, dengan daya jelajah yang jauh. Dengan
padewakang itulah para pelaut Bira menyelinap di antara kapal patroli
VOC, mengacak-acak monopoli perdagangan rempah-rempah Maluku.
Pada
awal abad ke-18 para pelaut Bira menakhodai pinisi padewakang hingga ke
pantai utara Australia demi memburu teripang kualitas terbaik.
Padewakang yang mampu membawa muatan hingga 140 ton berkeliling
menghimpun barang dari berbagai pelosok Nusantara; rotan, lilin,
agar-agar, sirip hiu, kulit, daging kering, kulit penyu, sarang burung,
dan tikar rotan; dan menjualnya kepada saudagar kapal jung dari China.
Guncangan
politik lokal tahun 1950-an, kelangkaan kayu, dan perkembangan
teknologi kapal motor membuat kejayaan Semenanjung Bira memudar. Namun,
punggawa Semenanjung Bira menolak menyerah.
Thomas Gibson dalam bukunya,
Kekuasaan Raja, Syaikh, dan Ambtenaar-Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300–2000
(Penerbit Ininnawa, 2009), mengurai diaspora tukang kapal Desa Ara dan
Lemo-lemo yang meninggalkan Semenanjung Bira demi melanjutkan jalan
hidup mereka sebagai punggawa pinisi.
Menurut Gibson, punggawa
Desa Lemo-lemo sejak awal abad ke-19 mulai meninggalkan Semenanjung
Bira, punggawa pinisi di mana-mana. ”(Sementara) para pembuat perahu
Desa Ara (hingga awal 1950-an tetap) bergantung kepada saudagar kaya di
Bira … (Namun) pemberontakan Darul Islam (membuat) pangkalan perahu di
Bira dan Bone ditutup … Para punggawa (Desa Ara) mulai (pergi dan)
membuka kontak dengan saudagar Tionghoa di seluruh Indonesia. Mereka
kembali ke Ara, merekrut awak pembuat kapal (yang lantas dibawa ke)
tempat para pemesan. Di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, dibangun perahu
yang bobotnya hingga 600 ton,” tulis Gibson.
Gibson mencatat,
pada 1988 koloni orang Ara tersebar di Indonesia. Mulai dari Jampea,
Selayar, Sulawesi Selatan; Merauke dan Sorong di Papua; Kupang di Nusa
Tenggara Timur; Ambon dan Ternate di Kepulauan Maluku; Tarakan,
Balikpapan, Batu Licin, Kota Baru, Banjarmasin, Sampit, Kuala
Pembuangan, Kumai, dan Pontianak di Kalimantan; Jakarta; Surabaya;
hingga Belitung, Palembang, dan Jambi di Sumatera.
Dari tangan
punggawa Desa Ara—pewaris keahlian Sawerigading membuat kapal—lahir
puluhan ribu kapal layar motor atau kapal motor kayu pelayaran rakyat
dari berbagai penjuru Tanah Air. Ribuan kapal kayu yang tengah bersandar
di Sunda Kelapa dan Kalimas menantang gelombang melayari perairan
Nusantara.
”Begitu banyak galangan kapal pelayaran rakyat,
pembuatnya orang Semenanjung Bira. Sayangnya, pelayaran rakyat dengan
kapal kayu itu menyusut seiring berbelitnya tata niaga kayu. Mirip
dengan berkurangnya galangan pinisi di Semenanjung Bira yang juga
disebabkan kelangkaan kayu,” ujar pemilik galangan pinisi, Andi Ahmad
Nur.
Meski menyusut, pelayaran rakyat masih melanjutkan tradisi
pinisi padewekang sebagai ”pelayaran di luar sistem”. Kapal kayu
itu—sekarang didominasi kapal motor tanpa layar—menembus pulau yang tak
terjangkau kapal pelayaran nasional. Mereka mengangkut beras, sapi,
semen, bahkan surat suara pemilihan umum ke pulau paling terpencil
sekalipun, melanjutkan tradisinya, yaitu merangkai Nusantara.