News Update :

Bira Beach

History Phinisi

Phinisi Tana Beru

Showing posts with label Phinisi. Show all posts
Showing posts with label Phinisi. Show all posts

Download Gratis Themes BlackBerry Wonderful Indonesia Phinisi

Setelah Thema gratis Tanjung Bira Release, Kini giliran Theme BlackBarry Perahu Phinisi yang bisa kamu Download Gratis

Deskripsi
  • Themes ini mempunyai gambar slide yang secara otomatis akan terganti setiap 10 detik
  • Themes untuk OS 7 BlackBerry
  • Download dan instal di BlackBerry Kamu
  • Screen



Jika Berhasil Download Jangan Lupa Kirim info ke: 085 343 545 609

Download Gratis Theme BlackBerry Tanjung Bira [Curve Gemini 8520/8530]

Download Gratis Theme BlackBerry Tanjung Bira [Curve Gemini 8520/8530]

  • Themes : Versi 1.1 Beta Themes BB CV 8520
  • Lisensi : Free
  • Download : Klik Download Lalu Unduh dan instal langsung ke BlackBerry Kamu
  • Screen : 

    Untuk BlackBerry OS7 Download Disini
     Jika Kamu Berhasil Download Mohon Berikan Informasi melalui: 085 434 545 609 

Download Gratis Themes BlackBerry Tanjung Bira

Kali ini Kami akan berbagi Themes Gratis yang Bertemakan Tanjung Bira, Tanjung Bira sendiri adalah salah satu Obyek wisata yang ada di Kab.Bulukumba Sulawesi Selatan

Deskripsi :
  1. Home Screen : terdapat 4 gambar yang secara slideshow akan terganti setiap 10 detik
  2. Cara Instal : Anda akan dibawa kehalaman baru, sebab kami menggunakan hosting, jika halaman baru sudah terbuka, klik download atau instal langsung ke BlackBerry Anda
  3. Themes : Versi Beta 1.1 OS7 9320 / 9220
  4. Screen Shot : 





    DOWNLOAD DISINI

    Jika Kamu Berhasil Download Mohon Berikan Informasi melalui: 085 434 545 609 

Ritual Mistis Dalam Pembuatan Perahu Pinisi

Ingin melihat tempat mengerjakan kapal pinisi? Kami akan mengajak anda berkunjung ke Tana Beru, Sulawesi Selatan. Perahu Phinisi adalah bukti, bahwa nenek moyang kita memang pelaut andal. Nelayan dari Suku Bugis dan  Makassar dikenal dengan kemampuan mereka membuat kapal kayu yang megah ini.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa dengan perahu yang dibuat, mereka dapat berlayar ke berbagai belahan dunia, bahkan hingga ke Afrika Selatan. Dan ini dilakukan sejak jaman dulu saat teknologi pelayaran belum maju seperti saat ini. Walaupun menjadi bagian dari sejarah masa lalu Indonesia, namun jejak kapan pinisi masih bisa kita temukan hingga sekarang. Pinisi adalah perahu dagang yang membantu warga Makassar untuk berjualan hingga ke luar wilayah Indonesia. Karena ukurannya yang besar, kapal ini bisa menampung 100 ton barang. Walaupun terbuat dari kayu, perahu pinisi mampu menerjang ombak dan badai di tengah lautan, menyeberang dari satu benua ke benua lainnya. Ciri khas dari perahu pinisi adalah 2 tiang agung atau disebut dengan sokuguru dan layar yang membentang lebar.

Tana Beru yang merupakan sentra pembuatan perahu pinisi di Sumatera Selatan. Pembuatan perahu tradisional perlahan tergerus dan tersaingi oleh perahu motor. Namun hal ini tidak berlaku bagi perajin di Tana Beru, mereka tetap setia dengan kapal tradisional yang menjadi kebanggaan Indoneia. Tana Beru berlokasi di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Produksi perahu tradisional di tempat ini sudah dilakukan sejak jaman dulu, turun menurun hingga sekarang. Permintaan terhadap kapal pinisi juga masih ramai hingga sekarang, oleh sebab itu perajin Tana Beru masih tetap berproduksi hingga sekarang.

Di dalam pengerjaan kapal pinisi, para perajin biasanya akan melakukan ritual terlebih dahulu. Pembuatan kapal ini tidak sembarangan, melainkan dicarikan hari baik lebih dulu. Hari baik biasanya adalah hari ke-5 atau ke-7 setiap bulan. Kedua angka ini menyimpan filosofi mendalam bagi warga setempat. Angka 5 berarti rezeki yang berada di tangan, sedangkan angka 7 berarti rejeki yang tidak terputus.Pada hari tersebut, perajin akan mengumpulkan kayu dan bahan baku lainnya. Proses pembuatan kapal pinisi di Tana Beru terorganisasi dengan baik, dan ada seseorang yang mengepalai proses produksi tersebut. Badan kapal pinisi adalah kayu, oleh sebab itu perajin perlu menebang pohon untuk membuatnya. Penebangan tidak boleh dilakukan sembarangan. 


Ada serangkaian upacara yang akan dilakukan oleh para perajin untuk mengusir roh yang menunggui kayu tersebut. Di dalam ritual, biasanya anak ayam dijadikan sesaji untuk diberikan kepada roh penghuni kayu tersebut. Kemudian setelah ritual selesai, para perajin Tana Beru akan mulai menebangi pohon tersebut dengan gergaji. Pekerjaan ini harus dilakukan secara terus-menerus hingga selesai. Itulah mengapa pembuatan perahu pinisi memerlukan orang-orang kuat di belakangnya.

Balok di bagian depan biasanya akan dilarung ke laut, ini sebagai simbol penolak bala. Sedangkan balok di bagian belakang di simpan di rumah, merupakan simbol istri pelaut yang selalu setia untuk menunggu sang suami pulang. Ada 126 lembar papan yang dipakai untuk membuat dasar perahu pinisi. Papan-papan disusun sedemikian rupa hingga rapat dan kokoh, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan buritan atau tempat kemudi. Setelah badan perahu selesai dikerjakan, proses berikutnya adalah memasukkan majun ke dalam sela papan. Ini bertujuan untuk memperkuat sambungan papan-papan tersebut. Pelekat yang dipakai juga sangat sangat alami, yakni dari kulit pohon barruk. Setelah proses ini selesai, dilanjutkan dengan pemdepulan dengan campuran minyak kelapa dan kapur. Dempul sebanyak 20 kilo bisa untuk perahu dengan bobot 100 kg. Yang terakhir dari proses pembuatan kapal pinisi ini adalah peluncuran. Seperti saat menebang pohon, saat peluncuran juga diadakan ritual khusus, seperti memotong kambing atau sapi. Pemasangan baru dilakukan jika kapal sudah berhasil mengapung di laut.


Pasir Tanjung Bira, Bukan Pasir Biasa Seperti di Kuta

Pada sekitar tahun 1974, ada seorang peneliti dari Australia yang meneliti biota laut di Tanjung Bira dan sekiatrnya. Sang peneliti tersebut tinggal selama enam bulan di Tanjung Bira, dan ternyata dia tak hanya sukses meneliti biota laut di daerah tersebut, tetapi juga menghasilkan sebuah penemuan yang tak pernah terduga sebelumnya. Yang oleh masyarakat Bira sendiri tak mengetahui adanya sebuah proses yang telah terjadi selama ratusan tahun di pantai Tanjung Bira.
Penemuan tersebut ialah tentang pasir yang terhampar di sepanjang pantai Tanjung Bira. Bahwa pasir yang menutupi permukaan sepanjang pesisir pantai, sesungguhnya bukanlah pasir asli, sebagaimana pasir yang terdapat di Pantai Kuta, Bali. Pasir yang ada di Bira, sesungguhnya adalah hasil kikisan batu karang di dasar laut selama ratusan tahun. Kikisan batu karang ini kemudian mengapung di permukaan laut, lalu dibawa obak ke pesisir, kemudian pesisir Pantai Bira ini pun akhirnya tertutup hasil kikisan karang. Istimewanya, karena pasir dari kikisan karang ini terasa dingin meskipun ditimpa panas terik matahari. Meskipun jam 12.00 siang, pasir Bira tetap saja dingin.

Dalam bahasa Konjo orang Bira disebut kacima’.
Nah, karena dinginnya pasir Bira inilah yang membuat para turis asing senang ke Bira. Selain juga banyak wisata Budaya yang bisa disaksikan di sekitar Bira, misalnya penenun sarung Bira, Ammatowa di Kajang, Pinisi milik orang Bira dan beberapa objek wisata lainnya. Dan dari Bira, jarak ke Toraja sudah tidak terlalu jauh.
Alasan utama turis asing datang ke daerah tropis seperti di Indonesia, ialah untuk mengubah warnah kulit mereka menjadi cokelat. Mengubah warna kulit itulah mereka butuh tempat berjemur di pantai untuk waktu tertentu. Bedanya dengan Bali, bila turis berjemur di Kuta Bali 14 hari, maka di Bira cukup berjemur 7 hari. Mengapa ? Sebab di Bira turis bisa berjemur dari pagi sampai sore, sedang di Bali waktu berjemur tiap hari terbatas karena panasnya pasir Kuta yang tak bisa ditahan. Turis di Kuta hanya bisa berjemur pada pagi dan sore hari.
Bagaimana prosesnya hingga terjadi kikisan karang di dasar laut ? Hamparan laut yang terletak di antara pulau Selayar dengan Tanjung Bira, di tengah-tengahnya terdapat lubang yang menganga lebar menuju dasar bumi. Lubang ini menjadi pusaran air laut. Dan sudah demikian banyak kapal dan perahu yang tenggelem dan tertelan disitu. Pada peta Amerika Serikat, di titik pusaran ini memang diberi titik merah sebagai tanda bahaya. Pusaran ini sepertinya sebagai miniatur segi tiga bermuda. Orang masyarakat setempat, tempat tersebut disebut ujungia.
Nah, arus pusaran air laut yang berputar seolah mengelilingi sumbunya inilah, yang kemudian menghasilkan kikisan karang dalam waktu yang lama, dan kikisan karang itulah yang kini menjadi pasir Tanjung Bira.

Dari Bira Merangkai Nusantara

Ribuan kapal kayu yang bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, ataupun Kalimas, Surabaya, konon merupakan warisan keahlian Sawerigading membuat kapal.

Syahdan, kapal yang ditinggalkan Sawerigading, tokoh sentral mitologi Sulawesi Selatan, pecah digulung laut. Lambung kapal terdampar di Desa Ara. Haluan dan buritannya terdampar di Desa Lemo-lemo. Lunas, kemudi, dan layarnya terdampar di Desa Bira. Tiga desa di Semenanjung Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, itu kemudian tersohor sebagai pembuat pinisi.


”Orang Bira mendapat pusaka layar dan kemudi sehingga menjadi pelaut hebat. Sepintar-pintarnya orang membuat lambung, tidak akan lebih bagus pekerjaannya daripada lambung buatan orang Ara. Kami orang Lemo-lemo membuat haluan dan buritan meski sekarang kami juga menjadi pelaut,” kata Haji Abdullah (49), pemilik galangan kapal.

Saat itu, 15 Januari, ia menuturkan kembali mitologi itu di galangannya yang berada di Pantai Tanah Beru, pesisir barat Semenanjung Bira, sekitar 23 kilometer arah tenggara dari ibu kota Kabupaten Bulukumba.

Mitologi itu menuntun jalan hidup orang Ara, Lemo-lemo, dan Bira. Seorang Ara seperti Yusman (17) telah meninggalkan sekolahnya, dan kini belajar menjadi punggawa atau pembuat pinisi. Ia magang mengikuti pamannya, Baso (35), kepala punggawa di galangan Abdullah.

”Saya tinggalkan sekolah sejak kelas IV SD,” tutur Yusman sambil menaruh potongan kayu kandole di pelataran galangan, di antara hamparan serbuk dan serpihan kayu di belakang buritan pinisi garapan Abdullah.

Parangnya membelah kayu, membentuknya menjadi pasak-pasak berdiameter 3 sentimeter. Pasak-pasak Yusman akan merangkai papan kayu membentuk lambung kapal pinisi sepanjang 37,5 meter.

Yusman bekerja dalam diam, mengikuti irama suara ombak yang bersahutan dengan dengungan ketam listrik, mesin ampelas, dan dentam pahat beradu palu. Baso tersenyum memandangi Yusman.

Melanjutkan tradisi Ketekunan Yusman membuat pasak demi pasak itulah yang akan melanjutkan tradisi orang Semenanjung Bira sebagai pembuat pinisi. Di tangan mereka kapal kayu dengan dua tiang berikut tujuh layar itu bukan sekadar teks sejarah meski legenda pinisi memiliki catatan panjang.

Selama ratusan tahun pinisi menjadi alat perlawanan saudagar pribumi dalam menghadapi monopoli perdagangan Serikat Dagang Hindia Timur Belanda (VOC). Bentuk asli pinisi tipe padewakang (disebut juga paduakang) yang ramping menjadikannya kapal yang gesit, dengan daya jelajah yang jauh. Dengan padewakang itulah para pelaut Bira menyelinap di antara kapal patroli VOC, mengacak-acak monopoli perdagangan rempah-rempah Maluku.

Pada awal abad ke-18 para pelaut Bira menakhodai pinisi padewakang hingga ke pantai utara Australia demi memburu teripang kualitas terbaik. Padewakang yang mampu membawa muatan hingga 140 ton berkeliling menghimpun barang dari berbagai pelosok Nusantara; rotan, lilin, agar-agar, sirip hiu, kulit, daging kering, kulit penyu, sarang burung, dan tikar rotan; dan menjualnya kepada saudagar kapal jung dari China.

Guncangan politik lokal tahun 1950-an, kelangkaan kayu, dan perkembangan teknologi kapal motor membuat kejayaan Semenanjung Bira memudar. Namun, punggawa Semenanjung Bira menolak menyerah.

Thomas Gibson dalam bukunya, Kekuasaan Raja, Syaikh, dan Ambtenaar-Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300–2000 (Penerbit Ininnawa, 2009), mengurai diaspora tukang kapal Desa Ara dan Lemo-lemo yang meninggalkan Semenanjung Bira demi melanjutkan jalan hidup mereka sebagai punggawa pinisi.

Menurut Gibson, punggawa Desa Lemo-lemo sejak awal abad ke-19 mulai meninggalkan Semenanjung Bira, punggawa pinisi di mana-mana. ”(Sementara) para pembuat perahu Desa Ara (hingga awal 1950-an tetap) bergantung kepada saudagar kaya di Bira … (Namun) pemberontakan Darul Islam (membuat) pangkalan perahu di Bira dan Bone ditutup … Para punggawa (Desa Ara) mulai (pergi dan) membuka kontak dengan saudagar Tionghoa di seluruh Indonesia. Mereka kembali ke Ara, merekrut awak pembuat kapal (yang lantas dibawa ke) tempat para pemesan. Di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, dibangun perahu yang bobotnya hingga 600 ton,” tulis Gibson.

Gibson mencatat, pada 1988 koloni orang Ara tersebar di Indonesia. Mulai dari Jampea, Selayar, Sulawesi Selatan; Merauke dan Sorong di Papua; Kupang di Nusa Tenggara Timur; Ambon dan Ternate di Kepulauan Maluku; Tarakan, Balikpapan, Batu Licin, Kota Baru, Banjarmasin, Sampit, Kuala Pembuangan, Kumai, dan Pontianak di Kalimantan; Jakarta; Surabaya; hingga Belitung, Palembang, dan Jambi di Sumatera.

Dari tangan punggawa Desa Ara—pewaris keahlian Sawerigading membuat kapal—lahir puluhan ribu kapal layar motor atau kapal motor kayu pelayaran rakyat dari berbagai penjuru Tanah Air. Ribuan kapal kayu yang tengah bersandar di Sunda Kelapa dan Kalimas menantang gelombang melayari perairan Nusantara.

”Begitu banyak galangan kapal pelayaran rakyat, pembuatnya orang Semenanjung Bira. Sayangnya, pelayaran rakyat dengan kapal kayu itu menyusut seiring berbelitnya tata niaga kayu. Mirip dengan berkurangnya galangan pinisi di Semenanjung Bira yang juga disebabkan kelangkaan kayu,” ujar pemilik galangan pinisi, Andi Ahmad Nur.

Meski menyusut, pelayaran rakyat masih melanjutkan tradisi pinisi padewekang sebagai ”pelayaran di luar sistem”. Kapal kayu itu—sekarang didominasi kapal motor tanpa layar—menembus pulau yang tak terjangkau kapal pelayaran nasional. Mereka mengangkut beras, sapi, semen, bahkan surat suara pemilihan umum ke pulau paling terpencil sekalipun, melanjutkan tradisinya, yaitu merangkai Nusantara.

Tanjung Bira Menuju Destinasi Wisata Dunia

Tanjung Bira adalah salah satu destinasi wisata favorit di Sulsel. Pesisir pantai ini berjarak sekira 40 kilometer dari pusat kota Kabupaten Bulukumba. Hamparan pasir putih dan sejumlah fasilitas wisata akan memanjakan pengunjung. Baik wisatawan domestik maupun manca negara.
BIRA merupakan pantai pasir putih  yang cukup terkenal. Pantai ini termasuk pantai yang  bersih, tertata rapi, dan air lautnya jernih. Keindahan dan kenyamanan pantai ini terkenal hingga ke manca negara. Turis dari pelbagai negara banyak yang berlibur di tempat ini.
  
Informasi yang dihimpun FAJAR menyebutkan jika potensi kunjungan wisatawan yang datang ke Tanjung Bira terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Setidaknya, terdapat 2.500 wisatawan manca negara yang datang ke Bira pada 2011 lalu. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2.400 wisatawan. Kebanyakan wisatawan asing itu merupakan wisatawan dari benua Asia dan Eropa. 

Tahun ini, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bulukumba memprediksi kunjungan wisatawan asing itu akan bertambah tahun ini. Hingga awal Oktober kemarin, jumlah wisatawan asing yang melancong ke Bira sudah mencapai 2000-an orang. Jumlah ini diprediksi akan meningkat dalam dua bulan terakhir. Terutama di akhir 2012.
Pantai bira yang sudah terkenal hingga manca negara, terus dibenahi. Pemerintah Kabupaten Bulukumba berupaya untuk melakukan penataan secara apik menjadi kawasan wisata yang patut diandalkan. Berbagai sarana sudah tersedia, seperti hotel, restoran, serta sarana telekomunikasi.
Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bulukumba, Idham mengatakan, pantai Tanjung Bira akan kembali dibenahi awal 2013 mendatang. Salah satu yang menjadi fokus pembenahan adalah armada kebersihan pantai. Selama ini, kata dia, pantai tanjung Bira terkesan jorok karena armada kebersihan yang memang kurang.
"Tahun depan kita akan fokus membenahi kebersihan pantai. Kita rencananya akan mengadakan armada pengangkut sampah. Mungkin ada beberapa mobil sampah yang akan disiapkan," jelas Idham di ruang kerjanya, kemarin.
Dia menambahkan, saat ini sudah terdapat sekira 44 hotel dan 16 mini bar yang ada areal pantai Bira. Di luar areal pantai Bira terdapat sedikitnya 24 hotel. Artinya, pelancong yang datang di kawasan pantai Tanjung Bira bisa menikmati fasilitas sekira 68 hotel dengan tarif hotel yang bervariasi antara Rp150 ribu hingga Rp750 ribu per malam.
Selain melakukan pembenahan di sektor kebersihan, pihaknya juga akan melakukan pembinaan terhadap warga sekitar untuk memanfaatkan peluang bisnis wisata kuliner di kawasan ini. Menurutnya, selama ini, warga masih monoton menyajikan makanan dan minuman praktis yang sudah lazim. Menurutnya, para wisatawan yang datang akan semakin tertarik jika disajikan kuliner khas Bulukumba.

"Sekarang kebanyakan warga hanya menjual makanan siap saji seperti teh kotak atau sebagainya. Kalau yang seperti ini semuanya sudah ada. Kita mau yang lebih menarik lagi," jelasnya.
Di Pulau Liukang, yang berada tidak jauh dari Tanjung Bira juga akan menjadi perhatian pemerintah Kabupaten Bulukumba. Pulau Liukang adalah salah satu daya tarik wisatawan manca negara dan lokal. Di tempat ini, para wisatawan dapat melakukan snorkling dan diving. Namun, fasilitas ini masih terbatas dan perlu di perbanyak.
Dia menambahkan, sarana dan prasarana wisata yang ada di Tanjung Bira sebenarnya bukan hanya beban dinas kebudayaan dan pariwisata. Fasilitas-fasiltas ini, juga harus dikerjakan oleh sejumlah dinas-dinas lainnya di Bulukumba. Salah satunya adalah sarana jalanan yang memadai. Menurutnya, awal tahun ini, pengunjung ke Bira mengalami penurunan karena kondisi jalan dari pusat Bulukumba ke Bira rusak. Pertengahan tahun, jalan itu akhirnya membaik dan wisatawan Bira kembali berdatangan.

 "Di sekitar kawasan Bira juga ada jalanan sepanjang 5,6 kilometer. Ini juga perlu dibenahi bersama-sama dengan dinas lain seperti dinas pekerjaan umum (PU)," kata dia.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bulukumba, Andi Nasaruddin Gau mengatakan, meningkatnya kunjungan wisatawan asing ke Pantai Bira tahun ini tidak terlepas dari bantuan pemerintah provinsi atas perbaikan jalan poros Bulukumba-Tanjung Bira. Menurutnya, kondisi jalan yang baik sangat berdampak terhadap tingginya intensitas pengunjung di Bira.
Dia menambahkan, kendala lain yang juga perlu dibenahi di kawasan Pantai Bira adalah aturan mengenai larangan beredarnya minuman yang memiliki kadar alkohol di atas lima persen. Artinya, minuman beralkoohol yang bisa diperjualbelikan di kawasan itu hanya bir saja. Para wisatawan asing, kata dia, sangat mencari minuman dengan kadar di atas itu.
"Turis kebanyakan mencari kadar alkohol yang lebih tinggi dari lima persen itu. Mungkin karena itu sudah kebiasaan mereka," jelasnya.

DPRD Bulukumba Minta Phinisi Dipatenkan

Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan terkenal dengan julukan kota Panrita Lopi atau ahli membuat perahu. Sehingga industri perahu terutama perahu pinisi banyak memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah daerah.
Selain perahu jenis pinisi, nama Bulukumba terus mencuat dengan hadirnya perahu-perahu jenis padewekkang, lambo, maupun perahu jenis lepa-lepa yang merupakan kreatifitas masyarakat bulukumba.

Namun sangat disayangkan, perahu-perahu yang sudah terkenal hingga ke mancanegara itu membuat pemerintah kabupaten masih merasa khawatir, karena nama salah satu perahu jenis pinisi sampai saat ini belum dipatenkan oleh pemerintah, kata Amar Ma'ruf, anggota Komisi B DPRD Bulukumba.
"Kabupaten ini sudah cukup terkenal, namun sangat disayangkan jika hak paten pinisi yang merupakan titipan nenek moyang kita belum juga dipatenkan. Buat apa harus ada promosi jika hak paten itu belum kita pegang," sahut Amar.

Dia berharap agar pemerintah segera mematenkan pinisi sebagai ikon atau lambang Bulukumba agar tidak ada daerah yang dapat mencaplok peninggalan nenek moyang Bulukumba tersebut.
Maraknya isu yang beredar mengenai pencaplokan pinisi dari daerah luar, Bupati Bulukumba, Zainuddin Hasan dalam waktu dekat akan segera mematenkan pinisi sebagai ikon atau lambang Kabupaten Bulukumba.

"Tidak ada alasan orang luar mengklaim pinisi adalah icon mereka, karena pinisi itu dibuat langsung dari tangan-tangan masyarakat dari Desa Ara, Kecamatan Bontobahari. Insya Allah saya akan segera mengurus izin patennya dari Kementrian Hukum dan HAM melalui Hak Kekayaan Intelektual (HKI)," jelasnya.

Untuk saat ini, kata Zainuddin Pemerintah Kabupaten Bulukumba baru memegang hak desain kapal pinisi yang dikeluarkan oleh Kementrian Hukum dan HAM

Phinisi Memiliki Keunikan yang Tidak Akan Ditemukan di Belahan Dunia Manapun

PERAHU ini memiliki corak dan keunikan yang tidak akan ditemukam di belahan dunia manapun. Keunikan tersebut sekaligus menunjukkan keahlian para pembuat perahu Pinisi. Khususnya, dalam hal merangkai dinding kapal. Betapa tidak, rangkaian kapal bisa tersusun rapi meskipun harus dibuat dalam desain yang melengkung. Malah yanglebih mengherankan lagi karena dalam proses pembuatannya lebih dulu disusun papan atau dinding dibanding rangka atau tulang.

Uniknya, tidak hanya perahu ukuran kecil saja. Tetapi sampai perahu besar dikerjakan dengan cara yang sama. Bahkan salah seorang tokoh Pinisi di Bontobahari, Patta Lolo menyebut salah satu perahu Pinisi pengangkut barang terbesar yang dibuat 1973 berbobot maksimal 200 ton dikerjakan dengan teknik seperti itu. Padahal kapal ini cukup besar karena selain barang, kapal ini bisa memuat ABK hingga 30 orang . Panjang tiang Pinisi yang diberi nama Panji Nusantara ini pun sangat luar biasa karena mencapai ketinggian 35 meter.
Keunikan lain dari Pinisi adalah dari segi ritual adatnya. Dalam tradisi pembuatan Pinisi senantiasa dilakukan pemotongan ayam lebih dulu dan mengambil darahnya sebagai bahan ritual adat. Maksud dari ritual ini adalah pengharapan agar dalam penggunaan kapal ini tidak memakan korban manusia. “Harapannya, hanya ayam yang selalu dikeluarkan darahnya untuk disantap di atas kapal. Ini juga pertanda kemakmuran dan keamanan serta perlindungan bagi siapa saja yang memanfaatkannya,” tandas Abdullah, tokoh lainnnya.

Lantas bagaimana asal mula perahu ini? Tentu tidak muncul begitu saja. Desain kapal dengan corak khas dua tiang dan tujuh layar ini dalam sejarah disebutkan sebagai sebuah hasil evolusi dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Mulai dari perahu tanpa lunas atau dasar kapal hingga perahu dengan desain lunas. Perahu tanpa lunas adalah jenis perahu sampan terbuat dari batang kayu yang dikeruk atau banyak disebut dengan perahu lesung.

Dalam bahasa Bugis-Makassar disebut dengan lepa-lepa. Kapasitas perahu jenis ini sangat bergantung dari besar kecilnya batang pohon dan biasanya hanya dipergunakan pada daerah yang memiliki gelombang dalamskala kecil.
Perahu tanpa lunas lainnya adalah perahu Soppe’. Perahu ini merupakan pengembangan dari perahu jenis sampan dengan tujuan menambah kapasitas muat kapal. Itu sebabnya, desain perahu ini menambah papan pada bagian lambung kapal dan menambah tingginya. Pada sisi kiri dan kanan diberikan alat penyeimbang yang terbuat dari bambu atau kayu ringan. Perahu jenis ini mulai digunakan untuk alat transportasi dalam ukuran kecil.

 Lalu ada pula bernama perahu Jarangka. Bentuknya mirip dengan perahu Soppe. Hanya ukurannya yang lebih panjang yakni antara enam sampai tujuh meter. Evolusi desain perahu Pinisi juga bisa dilihat berdasarkan buku rujukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bulukumba yang ditulis Muhammad Arief Saenong. Dalam buku tersebut disebutkan beberapa jenis kapal yang menggunakan lunas sebagai cikal bakal perahu Pinisi. Dimulai dengan keberadaan perahu Pa’dewakang yang merupakan perahu kuno pertama dimana dindingnya terdiri dari kepingan-kepingan papan yang tersusun.

Perkembangan selanjutnya yang sebagian besar tokoh Pinisi di Bulukumba menyebut awal mula Pinisi adalah munculnya perahu Pajala disusul perahu Patorani. Kedua perahu ini muncul dalam waktu yang tidak lama dan bentuknya pun hampir sama.

Perahu Pajala ini berdasarkan hasil penelitian G.A Harridge pada 1979 menyebutkan bahwa lambung kapal (hull) dan teknik pembuatan perahu pajala merupakan dasar pembuatan perahu di Sulawesi Selatan. Ini beradasar pada konstruksi lambung yang relatif sama dengan perahu pada umumnya. Perkembangan selanjutnya ada yang disebut perahu Lopi Niadara, perahu Ba’go dan perahu Lambok yang semuanya adalah pengembangan perahu Pajala.

Evolusi selanjutnya pasca tipe perahu Pajala dengan berbagai tipe lainnya yang tidak jauh berbeda. Muncullah perahu jenis Salompong. Perahu Salompong ini merupakan modifikasi yang dilakukan para pembuat perahu dengan jalan menambah susunan papan lamma dengan jalan diikat (nisekko). Tambahan susunan papan ini kemudian dilebihkan ke belakang yang dibentuk menjadi “rembasang”. Kapasitas perahu jenis ini terbagi atas Salompong kecil dengan kapasitas 10 sampai 15 ton dan Salompong besar hingga 30 ton.

Dari perahu jenis Salompong ini, evolusi menuju pinisi konon juga diantarai munculnya perahu jenis Palari. Bahkan jenis perahu yang memulai menggunakan dua tiang dan tujuh layar.
Rentetan evolusi ini yang kemudian melahirkan sebuah kapal unik dengan corak khas tersendiri yakni perahu Pinisi yang terkenal dengan ekspedisi internasional Pinisi Nusantara ke Vancouver Kanada 1986 dan Pinisi Ammana Gappa yang mencapai Madagaskar pada 1991 silam.
Hanya saja, keberadaan perahu Pinisi ini juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah Sawerigading yang berkuasa di Luwu sekira abad ke XIV. Salah seorang tokoh pembuat Pinisi, Abdullah menyebut, konon asal mula perahu Pinisi berasal dari cerita terbelahnya kapal Sawerigading sepulang dari Tiongkok untuk menikahi seorang putri bernama We Cudai.

Cerita terbelahnya kapal Sawerigading ini berasal dari sumpah Sawerigading yang berjanji tidak akan kembali lagi ke tanah Luwu setelah meninggalkan tanah kelahirannya untuk menemui We Cudai. Keputusan Sawerigading meninggalkan kampung halamannya lantaran dihalangi menikahi saudara kandungnya sendiri, Watenri Abeng.
Sawerigading diceritakan meninggalkan kampungnya karena bujukan Watenri Abeng sendiri. Sawerigading diminta menemui seorang gadis cantik bernama We Cudai yang berada di negeri Tiongkok yang disebutnya persis mirip dengan wajahnya.

Sawerigading mengabulkan permohonan Watenri Abeng ini dan memutuskan menemui We Cudai dengan menggunakan perahu Welengrenge. Perahu tersebut konon muncul setelah terjadi sesuatu peristiwa ajaib. Diceritakan Abdullah bahwa saat itu perahu Sawerigading sudah lapuk dan tidak memungkinkan untuk perjalanannya.
Maka, ditebanglah pohon besar yang ada di Gunung Welengrenge suatu bukit di tanah Luwu. Namun, saat ditebang tiba-tiba kayu besar itu meluncur ke laut kemudian muncul perahu yang megah. Perahu ini kemudian digunakan untuk berlayar hingga berhasil menemui We Cundai. Sawerigading hidup bahagia bersama We Cudai mendapatkan keturunan yakni I Lagaligo. Setelah Sawerigading sekian lama di China dia pun rindu kampung halamannya dan lupa dengan sumpahnya untuk tidak kembali lagi.

Inilah yang menurut cerita menjadi petaka bagi Sawerigading yang membuat perahu Welengrenge ini terbelah saat mendekat tanah Luwu. Dari peristiwa ini bagian kapal Sawerigading terbelah tiga dan terdampar di Bontobahari. Masing-masing bagian lunas pada haluan sampai buritan terdampar di dusun Lemo-lemo Tanah Beru. Papan dan seluruh bagian lambung kapal terdampar di Dusun Ara. Sedangkan tali temali serta layar terdampar di Bira. Dari ketiga bagian ini menurut sejarah yang kemudian dirakit warga setempat. Itu sebabnya, pada tiga desa tersebut terkenal dengan keahliannya masing-masing. Orang Ara ahli dalam membuat bodi kapal, orang Lemo-lemo ahli dalam membuat dan dasar dan mempekerjakan, dan orang Bira ahli dalam berlayar. “Itu cikal bakal sebenarnya,” kata Abdullah

Relaxing and Enchantment on the MSV Phinisi Ambasi

The Phinisi Ambasi will take you through the course of the Komodo waters, the seas between the Pacific and Indian Oceans.
After seven years of sailing throughout the Eastern Indonesia waters (including Sulawesi, Molucas and Papua) five years ago the MSV Phinisi Ambasi settled down in the Komodo waters with the prolific underwater life and above a beautiful nature of the surrounding islands. The cruises "beyond Bali" have since been concentrated in the most exquisite dive-areas of Komodo. Our 12 years experience with the Phinisi Ambasi in the eastern Indonesia maritime guarantee a professional, relaxed and friendly operation on our cruises.

Private Charters

The size of the vessel is relatively small (23m x 6m), which is suitable to accommodate a limited number of passengers. Therefore, we can guarantee privacy on board. The MSV Phinisi Ambasi has 4 air-conditioned cabins, each cabin has a private toilet/cold and hot shower. It is now possible to "own" the boat for e.g. 7 days for your private use with your family or your close friends, so that you enjoy privacy and enchantment during your journey!! The professional crew, which has experience for 12 consecutive years, will guarantee a safe and enjoyable cruise on our vessel.

Diving Cruises

For the live-aboard diving cruises, we provide on board two Bauer compressors, 18 tanks, 150 kg weights and belts. On request we also provide other diving-equipments, such as BCD, wet-suits, regulators, fins, etc.
Most of our dives will be done from the MSV Phinisi Ambasi. Divers prepare for the dives on deck (put on their wet-suits, BCD etc) and descend from the boat into the water. Under the leadership of the dive-guide (who will brief you on deck before getting into the water), you are going to dive in one of the most amazing dive sites of the world. The motorized dinghy will be stand-by above the divers during the dive for immediate assistance.
The crystal-clear water is excellent for diving. Fish live is both bountiful and diverse, with reef fish and frequent visits by rays, tuna and jacks. Komodo harbors some of the most immaculate and riches coral reefs on the planet. The reefs boast a variety of invertebrates, more than 1,000 species of fish and 250 species of reef-building corrals and new species are constantly being discovered. In short, there is a profusion of colorful reefs, an enormous variety of corals, beautiful anemones and innumerable rare fish creating an enchanting underwater world, which is so fascinating each time anew.
After the dive, when you are on the surface again, the BCD and tanks can be put in the dinghy and you can swim to the MSV Phinisi Ambasi, which is also stand-by near the dive-spot climb the stairs aboard the vessel.

Leisure Cruises

Leisure cruises in the surrounding of the waters of Komodo will be a very an extraordinary experience. Beside the giant Lizards and other unusual animal in the island, you can snorkel in the crystal clear water.When the boat has dropped the anchor, it is a spectacular sensation to take a dip in the appealing sea. One of the well-known snorkel-spots is Pantai Merah (Pink Beach), where you imagine yourself being within an aquarium. Between the snorkel sessions, you can have a sunbath in the beach or play soccer with the crew.
Sea voyages between the islands seem now and then very much like expeditions "Cousteau's way". Many times our ship is accompanied by dolphins, sometimes even a manta ray or a whale. The fish that have been bought t the pasar-ikan (fish market) early in the day is for barbecue in the evening, which will take place somewhere in a quiet beach. Sometimes you can even enjoy the fish that had been caught during the sea voyage.

Live-aboard

Our guest feel at home aboard the ship right away. Traveling in such a special way is adventurous and comfortable at the same time.
Do you wish to play an active role on the ship? That is possible. You may assist the crew with steering, navigating and hoisting the sails. During the cruise the experienced and the highly skilled crew might welcome an occasional helping hand from you during the daily routine aboard. For this purpose experience in sailing is not required. Moreover, you may appreciate casting a fishing line, take a refreshing dip in the sea, or enjoy the sunrises and sunsets. Finally, with a snack and a drink, it is nice reading on the sundeck, or simply doze away on the rolling deck. The brilliant starry sky at night, reflected in the tropical waters will add to making your sea adventure an unforgettable holiday.


The Legends, The Pride of Indonesia and The Forgotten

That is the story 23 years ago. The mission is designed to cruise the archipelago Phinisi participate in Expo ’86, held in Vancouver, Canada. The entire project was initiated cruise and managed by Phinisi Indonesia Raya (YPIR) who chaired Admiral TNI (Ret.), bulb weight Update. Ship that has a length of 37 meters and weighing 120 tonnes of this historic voyage began on July 9, 1986.
Departing from the pier fishing Muara Baru, North Jakarta with the aim of Vancouver. Shipping routes traversed by a rough with waves reportedly up to 7 meters tall. Much higher than power lines. Moreover, according to Capt.. Gita, they must sail against the wind. After driving as far as 10 600-mile voyage that took over 68 days they finally reach the destination successfully, Vancouver.

Timber Ship with an International Reputation

Marine Plaza at the port, the ship and its crew a lot of acclaim from the Vancouver community. They say every day the ship was visited by no less than 3,000 visitors. Especially on September 21, 1986,  25 000 visitors visited the Phinisi archipelago. City of Vancouver’s maritime history has particularly long. For them, the arrival of Phinisi Nusantara, a timber ship with an international reputation for successfully crossing the Pacific Ocean was really enthusiastic attention. Reportedly, the arrival of the archipelago in the arena Phinisi Expo ’86 with immediate alacrity to make a stand Indonesia rarely visited by people who originally was suddenly full of visitors.
Indonesia stands even got an award in the form of railway spikes, which is a symbol of commemoration of 100 years of Trans Canada who became a symbol of past transportation. This award is only given to the three participating countries Expo ’86 which was considered the most spectacular. Nusantara Phinisi time it really catapulted the name of Indonesia in international eyes.
Internationally, Pinisi welknown since 1906 ago. The boat is the most modern form of traditional ships Bugis-Makassar people who have undergone a long evolutionary process. The ship was built as a sailing boat with two poles and seven to eight strands of the screen. In general these are small boats with a capacity between 20 to 30 tons and length between 10 to 15 meters. Almost the entire manufacture of boats made with simple techniques and use the power of the engine is very minimal.

Flashback History of the Phinisi Sailing Boat

At the southern tip of Sulawesi island, local people built a nautical tradition for hundreds of years. The stories about the courage of the sailors Bugis, Makassar, Mandar, and Konjo has become a byword down to a distant country across the ocean. The beauty and robustness in the face of malignancy boat ocean waves, has produced stories of heroism are admirable.
The story of the boat from Tanah Beru, Phinisi and the sailors from the Bira, Bulukumba, who drove it, now is not the familiar story. But not many realize greatness of sailors from the southern tip of Sulawesi, was built from a long tradition. This culture is based on the myth of the creation of the first boat by their ancestors.
Once Upon A Time in the mythology of Beru Land community, the ancestors they created a bigger boat to sail the seas, carrying merchandise and catch fish. When the first boat made, boat succesfully at sea. But an accident happened on the  Sea. Waves and storm struck the boat and destroy it. Body parts dumped in the village of Ara boats, sails and landed at Cape Bira it landed in the Land of Lemo.
The incident seemed to be a symbolic message for the Ara village. They must beat the sea with their cooperation. Since the incident, people only specialize Ara as the boat maker. People who acquire the remaining screens pleased specialized boat to learn astrology and the signs of nature. Lemo-Lemo While people are entrepreneurs who memodali and use the boat. The tradition of segregation of duties that has lasted for years that finally led to the creation of a traditional wooden boat called Phinisi.

Full Ritul in Pinisi Boat Building

Now the mystical beliefs of the ancient mythology is still strong in every process of making Phinisi. Beginning with a small ritual, boats Phinisi made after cutting ceremony in full. The ceremony was presided over by a boat handler called Panrita Lopi.Various offerings to the requirement that they not be left in this ceremony as all snacks should taste sweet and a white rooster was still healthy. Snacks in order to generate the desire of the owner of the boat will bring higher profits. A little blood from a white cock attached to the boat hull. The ritual as a symbol of hope that no blood spilled on the boat that will be created.
Then, his head cut off both ends of the hull builders and submit it to the boat-making leader. The tip pieces settled to the sea front in the exhaust as a sign that the boat can be fused with the waves in the ocean. Being settled back in pieces thrown to the ground as far as boats go to sea reminded that he should return safely to shore. In the end, proclaiming Lopi Panrita prayers before the Creator.

Parts of the ship phinisi

  1. Anjong, the triangle in front as ballast.
  2. Sombala aka the main screen, large size reaches 200 m.
  3. Triangular Tanpasere small screen in each main pole.
  4. Cocoro pantara or auxiliary display in front.
  5. Aka tangnga Cocoro auxiliary screen in the middle.
  6. Tarengke auxiliary screen in the background.

Best Quality Schooner Producer in the World in Bulukumba

Indonesia today is being filled with the hustle and bustle of the interests of many parties. Things that should be considered instead to be ignored. The things that once made this country proud, now forgotten. While most of our territory is ocean. But instead of getting behind our oceans. Like the fate of the archipelago that now terlunta Phinisi-stranded even if they’ve scored remarkable achievements. And maybe have a lot of Indonesian people who can not remember the song “My ancestors sailors.”
Related to this story phinisi ship, had no fear of the people in Bulukumba, South Sulawesi, that phinisi ship design will be submitted by the foreign patent rights. Given the manufacturing centers phinisi boat or Phinisi vessel of the largest in the world is located outside of Indonesia. Examples centers that only exist in several countries such as Japan, Australia, Malaysia and Brunei. Previously, Bulukumba already famous as a first producer of phinisi ship with the best quality.

This notorious oceans conquered by a ship made of wood, Phinisi Archipelago. Although initially the mission of this spectacular cruise doubt many people, but Capt. Ardjakusuma Gita along with 11 people crew managed to accomplish this task properly. Obstacles on the path to the notoriously dangerous voyage in the Pacific Ocean can be overcome by good until Phinisi Nusantara safely docked in Vancouver.

Perhaps many of the Squire who still remember about a sailing ship made of wood and named Phinisi Archipelago. This ship has a name that is legendary and almost all sailors in this country knows this name. Phinisi Nusantara has indeed been noted as successful historic voyage across the Pacific Ocean to get to Vancouver, Canada.

 

 

 

Phinisi There Is Tanahberu Bulukumba INDONESIA

Village residents asked TRY Land Lemo, Ara, and Bira in Bulukumba, 150 km from Makassar. Anyone of them could make Phinisi? Simultaneously they will be held up her index finger: "Our experts make it Bugis boat." On the hard earth freshwater birthplace of the sailors, established as a pillar Phinisi customary. Look along the coast of Land Lemo. Bitti wood pieces scattered. In some simple dock, which was composed of wood, keel boats already integrates with the framework.

Patorani, sturdy pole boat, ready planted. From there, soon, a traditional boat ready . Can Phinisi, palori, or lembo, three boat name. No longer Bitti "All parts of sea water has been," vowed Bugis sailors. So, many already are interested in Phinisi toughness.

Cormerais, French screen teacher who mated pole patorani with the mechanical screen. Phinisi biological mother on the beaches of Bugis. Phinisi worked so long in a simple, until last March when the cooperative formed in the area of ​​production of the Land boat Lemo, Bulukumba

Come down capital assistance from the Government amounting to USD 150 million. So, from the bivouac, bivouac, there came a whistling and pounding hammers chainsaw, build a boat that worth USD 30 million. That's where the artists work in wholesale boat, chasing income of Rp 120 thousand per month. But, listen too drums, laughter. And the little children who ask for pen and money to his guest. Now, as spelled Ahmed Nur, the manager of the boat Ammana Gappa, no longer lonely because investors bitti wood. Even a new skipper skipper aliases when looking for his men drove the boat ready

The pinisi is a traditional Indonesian

General description
The hull of the ships looks similar to that of a dhow while the fore-and-aft rigging reminds of western schooners, although it might be more correctly termed to resemble a ketch, as the front mast is the larger.

The large mainsails differ from western style gaff rigs though, as they often do not have a boom and the sail is not lowered with the gaff. Instead it is reefed towards the mast, much like a curtain, thus allowing the gaff to be used as deck crane in the harbour. The lower part of the mast itself may resemble a tripod or is made of two poles.

Pinisis may be 20 to 35 meters long and 350 tons in size. The masts may reach to 30 meters above the deck.

Types of Pinisi

There are two general types of Pinisi.[1]

* Lamba or lambo. Pinisi of a long and slender built, having a straight stern. This type of Pinisi is the one currently surviving in its motorized version (PLM).
* Palari. Older type of Pinisi with a curved stern and keel. They were usually smaller than the Lamba.

History

The first pinisi ships are said to have been built after the example of the Dutch "Pinas" introduced to the region by the V.O.C. around 1600. These probably sported lateen or other type of sails, as the modern schooner rig did not become prominent before the 19th century.

As with many traditional ship types pinisis have been provided with motors. This has somewhat changed the appearance of the ships, that until about 1970 had largely remained pure sailing ships. Comparable to modern dhows the masts have been shortened or when not needed as deck cranes vanished completely, while the structures on deck have been enlarged for the crew and passengers, usually restricted to the aft parts though.

Source: http://en.wikipedia.org/wiki/Pinisi

Shipyard Tour Phinisi

 

© Copyright Phinisi Boat 2010 -2011 | Design by Hantu Facebook | Published by Phinisi Boat | Powered by Blogger.com .